Keluhan
dispepsia merupakan keadaan klinik yang
kita sering temui dalam kehidupan sehari-hari. Dispepsia lebih dikenal dalam
masyarakat luas dengan sebutan “maag”. Diperkirakan hampir 30 % kasus pada
prakter umum dan 60 % pada praktek gastroenterology (pencernaan) merupakan
kasus dispepsia. Istilah dispepsia sendiri mulai dipakai sejak akhir tahun
80-an, dimana menggambarkan suatu kumpulan keadaan dengan gejala nyeri atau
tidak nyaman pada epigastrum , mual , muntah, kembung, cepat kenyang , rasa
perut penuh, sendawa , regurgitasi dan rasa panas yang menjalar di dada.
Dispepsia
dikatakan sebagai suatu dispepsia fungsional jika terdapat gejala dispepsia
tanpa adanya bukti kelainan structural pada saluran cerna terutama lambung pada
pemeriksaan endoskopi yang dapat menerangkan keluhan tersebut. Angka
kejadiannya cukup tinggi di Inggris sekitar 7%-41%, sedangkan untuk di
Indonesia sendiri belum ada data nasional yang menggambarkan kejadian ini. Gejala dispepsia yang dialami minimal telah
berlangsung 3 bulan dalam 6 bulan terakhir ( Konsensus Roma III 2006). Pada
banyak kasus tak jarang dispepsia fungsional ini menjadi pertanyaan bagi pasien,
mengapa mereka mengalami gejala tersebut
padahal tidak ditemukan kelainan structural apa-apa pada lambung mereka.
Banyak hal-hal
yang diduga dapat menyebabkan dispepsia fungsional ini diantaranya, perubahan
pola makan, pengaruh obat-obatan yang dimakan secara berlebihan dalam jangka
waktu lama, alcohol, nikotin, stress,dll. Dilain sisi, para ahli telah banyak
mengemukakan hipotesanya mengapa hal ini bisa terjadi. Pada penderita dispepsia
fungsional umumnya tingkat sekresi asam lambungnya normal, akan tetapi sensitivitas
mukosa lambung terhadap asam meningkat sehingga sering menimbulkan rasa tidak
enak diperut. Selain itu ada faktor-faktor yang berpengaruh lainnya seperti
gangguan pengosongan lambung, disfungsi otonom, aktivitas mioelektrik lambung,
hormonal, diet dan factor lingkungan. Faktor psikologis juga mengambil peranan
dalam dispepsia fungsional ini. Adanya stress akut pada seseorang dapat
mempengaruhi fungsi pencernaanya dengan menurunnya kontraktilitas lambung.
Pada pasien
dengan dispepsia fungsional ini , seorang dokter harus menelusuri latar
belakang keluhan yang dialami pasien
baik itu yang berkaitan dengan fisiologis maupun psikologis. Nasehat
untuk menghindari makanan-makanan yang
mencetuskan keluhan perlu dilakukan. Untuk terapi pengobatannya dapat diberikan
Antasid, Penyekat H2 resptor , PPI, sitoproteksi dan prokintik. Psikoterapi
perlu dilakukan jika ditemukan adanya gejala psikologis yang mendasarinya.
Bagaimanapun juga
mencegah lebih baik dari pada mengobati. Dispepsia fungsional ini dapat dicegah
dengan modifikasi pola hidup dan pola makan, menjaga sanitasi lingkungan serta
mengurangi makan makanan yang terlalu pedas dan asam , minuman beralkohol, kopi
serta merokok. Diagnosa dini juga perlu dilakukan agar dapat mengenali penyakit
dan penyebabnya dengan segera serta mencegah terjadinya komplikasi. Dispepsia
fungsional yang ditegakkan diagnosanya dengan baik memiliki prognosis yang baik
pula.